Model - Model Pembelajaran Penjas


2.1 Belajar dan Pembelajaran
2.1.1 Pengertian Belajar
Seseorang dikatakan telah belajar sesuatu apabila terjadi perubahan tertentu, misalnya dari tidak dapat menghitung menjadi dapat menghitung. Slameto (1995: 2) menjelaskan, “Belajar ialah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya”. Selanjutnya menurut Gagne (Dahar, 1996: 11) menyatakan, “Belajar dapat didefinisikan sebagai suatu proses dimana suatu organisma berubah perilakunya sebagai akibat pengalaman”. Kemudian Usman (1990: 2) menyatakan, “Belajar diartikan sebagai perubahan tingkah laku pada diri individu berkat adanya interaksi antara individu dengan individu dan individu dengan lingkungannya”.
Senada dengan apa yang disampaikan oleh Usman bahwa dalam belajar terdapat suatu perubahan-perubahan tingkah laku. Perubahan tersebut terjadi secara sadar, bersifat kontinyu, positif dan aktif, bersifat tetap serta mencakup seluruh aspek tingkah laku (Slameto, 1995: 3). Dalam kaitan dengan pengertian belajar, Suparyanti (1992: 3) menjelaskan beberapa ciri dari belajar, sebagai berikut,
a.    Belajar adalah aktivitas yang menghasilkan perubahan pada diri individu yang belajar, baik aktual maupun potensial.
b.    Perubahan itu pada dasarnya berupa kemampuan baru, yang berlaku dalam waktu yang relatif lama.
c.    Perubahan itu terjadi karena usaha.

Sedangkan Sukmadinata (1999: 144) mengemukakan sebagai berikut,
Belajar sesuatu bidang pelajaran, minimal meliputi tiga proses. Pertama, proses mendapatkan atau memperoleh informasi baru untuk melengkapi atau menggantikan informasi yang telah dimiliki atau menyempurnakan pengetahuan yang telah ada. Kedua, transformasi yaitu proses memanipulasi pengetahuan agar sesuai dengan tugas yang baru. Ketiga, proses evaluasi untuk mengecek apakah manipulasi sudah memadai untuk dapat menjalankan tugas mencapai sasaran.
2.1.1 Pengertian Pembelajaran
Berbicara tentang belajar, maka tidak lepas dari proses pembelajaran. Dalam hal ini Hamalik (1995: 57) menjelaskan, “Pembelajaran adalah suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan dan prosedur yang saling mempengaruhi dalam mencapai tujuan pembelajaran.” Lebih lanjut lagi Hamalik (1995: 58) mengemukakan sebagai berikut,
1.    Pembelajaran adalah upaya menyampaikan pengetahuan kepada peserta didik/siswa
2.    Pembelajaran adalah mewariskan kebudayaan kepada generasi muda melalui lembaga pendidikan sekolah
3.    Pembelajaran adalah upaya mengorganisasi lingkungan untuk menciptakan kondisi belajar bagi peserta didik
4.    Pembelajaran adalah upaya mempersiapkan peserta didik untuk menjadi warga masyarakat yang baik
5.    Pembelajaran adalah suatu proses membantu siswa menghadapi kehidupan masyarakat sehari-hari

Berdasarkan penjelasan di atas, maka terdapat perbedaan pemahaman tetang belajar dan pembelajaran. Belajar diartikan sebagai usaha yang dilakukan seorang individu dalam memperoleh perubahan perilaku, sedangkan pembelajaran adalah upaya yang dilakukan orang lain terhadap seorang individu dengan memberikan informasi dan pengetahuan.
2.2         Model Pembelajaran
2.2.1    Pengertian Model Pembelajaran
Istilah model pembelajaran amat dekat dengan pengertian strategi pembelajaran dan dibedakan dari istilah strategi, pendekatan dan metode pembelajaran. Istilah model pembelajaran mempunyai makna yang lebih luas daripada suatu strategi,  metode, dan teknik. Sedangkan istilah “strategi “ awal mulanya dikenal dalam dunia militer terutama terkait dengan perang atau dunia olah raga, namun demikian makna tersebut meluas tidak hanya ada pada dunia militer atau olahraga saja akan tetapi bidang ekonomi, sosial, pendidikan. Menurut Ruseffendi (1980), istilah strategi, metode, pendekatan dan teknik mendefinisikan  sebagai berikut:
1          Strategi pembelajaran adalah separangkat     kebijaksanaan yang terpilih, yang telah dikaitkan dengan faktor yang menetukan warna atau strategi tersebut, yaitu :
a.   Pemilihan materi pelajaran  (guru atau siswa)
b. Penyaji materi pelajaran (perorangan atau kelompok, atau belajar mandiri)
c.   Cara menyajikan materi pelajaran (induktif atau deduktif, analitis atau sintesis, formal atau non formal)
d.  Sasaran penerima materi pelajaran ( kelompok,   perorangan, heterogen, atau  homogen.
1.        Pendekatan Pembelajaran adalah jalan atau arah yang ditempuh oleh guru atau siswa dalam mencapai tujuan pembelajaran  dilihat  bagaimana materi itu disajikan. Misalnya memahami suatu prinsip dengan  pendekatan induktif atau deduktif.
2.        Metode Pembelajaran adalah cara mengajar secara umum yang dapat diterapkan pada semua mata pelajaran, misalnya mengajar dengan ceramah, ekspositori, tanya jawab, penemuan terbimbing dan sebagainya.
3.        Teknik mengajar adalah penerapan secara khusus suatu metode pembelajaran yang telah disesuaikan dengan kemampuan dan kebiasaan guru, ketersediaan media pembelajaran serta kesiapan siswa. Misalnya teknik mengajarkan perkalian dengan penjumlahan berulang.
Sedangkan Model Pembelajaran adalah sebagai suatu disain yang menggambakan proses rincian dan penciptaan situasi lingkungan yang memungkinkan siswa berinteraksi sehingga terjadi perubahan atau perkembangan pada diri siswa (Didang : 2005)
Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1998 : 203), pengertian strategi  (1) ilmu dan seni menggunakan sumber daya bangsa untuk melaksanakan kebijaksanaan tertentu dalam dan perang damai, (2) rencana yang cermat mengenai kegiatan untuk mencapai sasaran khusus.

Soedjadi (1999 :101) menyebutkan strategi pembelajaran adalah suatu siasat melakukan kegiatan pembelajaran yang bertujuan mengubah keadaan pembelajaran menjadi pembelajaran yang diharapkan. Untuk dapat mengubah keadaan itu dapat ditempuh dengan berbagai pendekatan pembelajaran. Lebih lanjut Soedjadi menyebutkan bahwa dalam satu pendekatan dapat dilakukan lebih dari satu metode dan dalam satu metode dapat digunakan lebih dari satu teknik. Secara sederhana dapat dirunut sebagai rangkaian :

teknik metode strategi model

Istilah  “ model pembelajaran” berbeda dengan strategi pembelajaran, metode pembelajaran, dan pendekatan pembelajaran. Model pembelajaran meliputi suatu model pembelajaran yang luas dan menyuluruh. Konsep model pembelajaran lahir dan berkembang dari pakar psikologi dengan pendekatan dalam setting eksperimen yang dilakukan. Konsep model pembelajaran untuk pertama kalinya dikembangkan oleh Bruce dan koleganya (Joyce, Weil dan Showers, 1992)
Lebih lanjut  Ismail (2003) menyatakan  istilah Model pembelajaran mempunyai empat ciri khusus yang tidak dipunyai oleh strategi atau metode tertentu yaitu :
1.    rasional teoritik yang logis disusun oleh perancangnya,
2.    tujuan pembelajaran yang akan dicapai,
3.    tingkah laku mengajar yang diperlukan agar model tersebut dapat dilaksanakan secara berhasil dan
4.    lingkungan belajar  yang diperlukan agar tujuan pembelajaran itu dapat tercapai.
Berbedanya  pengertian antara model, strategi, pendekatan dan metode serta teknik  diharapkan guru mata pelajaran umumnya dan khususnya matematika mampu memilih model dan mempunyai strategi pembelajaran yang sesuai dengan materi dan standar kompetensi serta kompetensi dasar dalam standar isi.
2.2.2    Pemilihan Model Pembelajaran
Dalam pembelajaran guru diharapkan mampu  memilih model pembelajaran yang sesuai dengan materi yang diajarkan. Dimana dalam pemilihan  Model pembelajaran meliputi pendekatan suatu model pembelajaran yang luas dan menyeluruh. Misalnya  pada model pembelajaran berdasarkan masalah, kelompok-kelompok kecil siswa bekerja sama memecahkan suatu masalah yang telah disepakati oleh siswa dan guru. Ketika guru sedang menerapkan model pembelajaran tersebut, seringkali siswa menggunakan bermacam-macam keterampilan, prosedur pemecahan masalah dan berpikir kritis. Model pembelajaran berdasarkan masalah dilandasi oleh teori belajar konstruktivis. Pada model ini pembelajaran dimulai dengan menyajikan permasalahan nyata yang penyelesaiannya membutuhkan kerjasama diantara siswa-siswa. Dalam model pembelajaran ini guru memandu siswa menguraikan rencana pemecahan masalah menjadi tahap-tahap kegiatan; guru memberi contoh mengenai penggunaan keterampilan dan strategi yang dibutuhkan supaya tugas-tugas tersebut dapat diselesaikan. Guru menciptakan suasana kelas yang fleksibel dan berorientasi pada upaya penyelidikan oleh siswa.
   Tiap-tiap model pembelajaran membutuhkan sistem pengelolaan dan lingkungan belajar yang sedikit berbeda. Misalnya, model pembelajaran kooperatif memerlukan lingkungan belajar yang fleksibel seperti tersedia meja dan kursi yang mudah dipindahkan. Pada model pembelajaran diskusi para siswa duduk dibangku yang disusun secara melingkar atau seperti tapal kuda. Sedangkan model pembelajaran langsung siswa duduk berhadap-hadapan dengan guru.
   Pemilihan model dan metode pembelajaran menyangkut strategi dalam pembelajaran. Strategi pembelajaran adalah perencanaan dan tindakan yang tepat dan cermat mengenai kegiatan pembelajaran agar kompetensi dasar dan indikator pembelajarannya dapat tercapai. Pembelajaran adalah upaya menciptakan iklim dan pelayanan terhadap kemampuan, potensi, minat, bakat, dan kebutuhan peserta didik yang beragam agar terjadi interaksi optimal antara guru dengan siswa serta antara siswa dengan siswa. Di madrasah, tindakan pembelajaran ini dilakukan nara sumber (guru) terhadap peserta didiknya (siswa). Jadi, pada prinsipnya strategi pembelajaran sangat terkait dengan pemilihan model dan metode pembelajaran yang dilakukan guru dalam menyampaikan materi bahan ajar kepada para siswanya.
Model pembelajaran yang dapat diterapkan oleh para guru sangat beragam. Model pembelajaran adalah suatu pola atau langkah-langkah pembelajaran tertentu yang diterapkan agar tujuan atau kompetensi dari hasil belajar yang diharapkan akan cepat dapat di capai dengan lebih  efektif dan efisien.

2.3    Model-Model Pembelajaran Penjas
Model Pembelajaran Penjas Model pembelajaran (models of teaching) dalam konteks pendidikan jasmani lebih banyak berkembang berdasarkan orientasi dan model kurikulumnya. Dalam hal ini, model pembelajaran lebih sering dilihat sebagai pilihan guru untuk melihat manfaat dari pendidikan jasmani terhadap siswa, atau lebih sering disebut sebagai orientasi. Di bawah ini diuraikan beberapa model pembelajaran, sebatas untuk dipahami perbedaan antara satu dengan lainnya.
2.3.1  Model Pendidikan Gerak (Movement Education)
Pendidikan gerak atau movement education, menekankan kurikulumnya pada penguasaan konsep gerak. Di Amerika Serikat, program pendidikan gerak mulai berkembang sejak tahun 1960-an, yang pelaksanaannya didasarkan pada karya Rudolph Laban. Kerangka kerja program Laban ini meliputi konsep kesadaran tubuh (apa yang dilakukan tubuh), konsep usaha (bagaimana tubuh bergerak), konsep ruang (di mana tubuh bergerak), dan konsep keterhubungan (hubungan apa yang terjadi). Masing-masing konsep tersebut, merupakan panduan untuk dimanfaatkan manakala anak harus bergerak, sehingga gerakan anak bermakna dalam keseluruhan konsep tersebut. Dari setiap aspek gerak di atas, tujuan dan kegiatan belajar dirancang dengan memanfaatkan pendekatan gaya mengajar pemecahan masalah, penemuan terbimbing, dan eksploratori (Logsdon et al., 1984).  Menurutnya, dalam model pendidikan gerak ini, siswa akan didorong untuk mampu menganalisis tahapan gerakan ketika menggiring bola basket (misalnya) dan menemukan posisi yang tepat ketika berada dalam permainan. Steinhardt (1992), mengutip Nichols, telah mengusulkan suatu kurikulum terpadu (integrated curriculum) yang mengajarkan pada siswa hubungan antara gerak yang dipelajari dengan berbagai kegiatan pendidikan jasmani. Dalam pengembangan kurikulum pendidikan gerak, keseluruhan konsep itu dimanfaatkan dan dielaborasi, serta menjadi wahana bagi anak untuk mengeksplorasi kemampuan geraknya. Termasuk, jika ke dalam kurikulum tersebut dimasukkan beberapa orientasi kecabangan olahraga seperti senam atau permainan, bahkan dansa sekalipun. Di bawah ini akan diuraikan ruang lingkup kurikulum pendidikan gerak yang diorientasikan melalui permainan kependidikan dan senam kependidikan.
Jewet dan Bain (1985) menyatakan bahwa model pendidikan gerak telah dikritik dalam hal tidak ditemukannya klaim tentang transfer belajar‖ dan juga mengakibatkan menurunnya waktu aktif bergerak yang disebabkan oleh penekanan berlebihan pada pengajaran konsep gerak. Kritik lain telah mengajukan lemahnya bukti empiris untuk mendukung praktek penggunaan gaya pengajaran penemuan untuk mengajarkan keterampilan berolahraga (Dauer and Pangrazi, 1992; Siedentop, 1980).
2.3.2   Model Pendidikan Kebugaran (Fitness Education)
Salah satu literatur yang banyak membahas tentang pendidikan Jasmani orientasi model kebugaran adalah Physical Education for Lifelong Fitness (AAHPERD). Buku ini mendeskripsikan model pembelajaran pendidikan jasmani dari perspektif health-related fitness education (Steinhard, 1992). Model ini memiliki pandangan bahwa para siswa dapat membangun tubuh yang sehat dan memiliki gaya hidup aktif dengan cara melakukan aktivitas fisik dalam kehidupan sehari-harinya. Namun kenyataan tersebut tidak mungkin dicapai tanpa adanya usaha karena sebagian besar anak dan remaja tidak memiliki kebiasaan hidup aktif secara teratur dan aktivitas fisiknya menurun secara drastis setelah dewasa. Untuk itu, program penjas di sekolah harus membantu para siswa untuk tetap aktif sepanjang hidupnya. Kesempatan membantu para siswa untuk tetap aktif sepanjang hidupnya menurut model ini masih tetap terbuka sepanjang merujuk pada alasan individu melakukan aktivitas fisik.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa alasan individu melakukan aktivitas fisik adalah (1) aktivitas fisik meyenangkan, (2) dapat dilakukan rame-rame, (3) dapat meningkatkan keterampilan, (4) dapat memelihara bentuk tubuh, dan (5) nampak lebih baik. Beberapa alasan individu melakukan aktivitas fisik tersebut harus menjadi dasar dalam menerapkan model kebugaran ini.
2.3.3  Pendidikan Olahraga (Sport Education)
Sport education yang sebelumnya diberi nama play education (Jewett dan Bain 1985) dikembangkan oleh Siedentop (1995). Model ini berorientasi pada nilai rujukan Disciplinary Mastery (penguasaan materi), dan merujuk pada model kurikulum Sport Socialization. Siedentop banyak membahas model ini dalam bukunya yang berjudul Quality PE Through Positive Sport Experiences: Sport Education. Beliau mengatakan bahwa bukunya merupakan model kurikulum dalam pembelajaran penjas. Inspirasi yang melandasi munculnya model ini terkait dengan kenyataan bahwa olahraga merupakan salah satu materi penjas yang banyak digunakan oleh para guru penjas dan siswapun senang melakukannya, namun di sisi lain ia melihat bahwa pembelajaran olahraga dalam konteks penjas sering tidak lengkap dan tidak sesuai diberikan kepada siswa karena nilai-nilai yang terkandung di dalamnya sering terabaikan.
Para guru lebih senang mengajarkan teknik-teknik olahraga yang sering terpisah dari suasana permainan sebenarnya. Atau, jika pun melakukan permainan, permainan tersebut lebih sering tidak sesuai dengan tingkat kemampuan anak sehingga kehilangan nilai-nilai keolahragaannya. Akibatnya, pelajaran permainan itupun tidak memberikan pengalaman yang lengkap pada anak dalam berolahraga. Dalam pandangan Siedentop, pembelajaran demikian tidak sesuai dengan konsep praktek yang seirama dengan perkembangan (developmentally appropriate practices/DAP). Bahkan dalam kenyataannya, untuk sebagian besar siswa, cara seperti ini kurang menyenangkan dan kurang melibatkan siswa secara aktif karena kemampuannya yang belum memadai. Model sport education diharapkan mampu mengatasi berbagai kelemahan pembelajaran yang selama ini sering dilakukan oleh para guru penjas.
2.3.4        Model Pembelajaran Kooperatif
Menurut Davidson dan Warsham “Pembelajaran kooperatif adalah model pembelajaran yang mengelompokkan siswa untuk tujuan menciptakan pendekatan pembelajaran yang berefektifitas yang mengintegrasikan keterampilan sosial yang bermuatan akademik”. Slavin menyatakan bahwa “pembelajaran kooperatif adalah suatu model pembelajaran dimana siswa belajar dan bekerja sama dalam kelompok-kelompok kecil secara kolaboratif yang anggotanya terdiri dari 4-6 orang dengan struktur kelompok heterogen”. Jadi dalam model pembelajaran kooperatif ini, siswa bekerja sama dengan kelompoknya untuk menyelesaikan suatu permasalahan. Dengan begitu siswa akan bertanggung jawab atas belajarnya sendiri dan berusaha menemukan informasi untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diberikan pada mereka.
Tujuan model pembelajaran kooperatif adalah hasil belajar akademik siswa meningkat dan siswa dapat menerima berbagai keragaman dari temannya serta pengembangan keterampilan sosial. Johnson & Johnson menyatakan bahwa tujuan pokok belajar kooperatif adalah memaksimalkan belajar siswa untuk peningkatan prestasi akademik dan pemahaman baik secara individu maupun secara kelompok.
Ciri-ciri model pembelajaran kooperatif sebagai berikut:
1)      Siswa dalam kelompok bekerja sama menyelesaikan materi belajar sesuai kompetensi dasar yang akan dicapai.
2)      Kelompok dibentuk secara heterogen.
3)      Penghargaan lebih diberikan kepada kelompok, bukan kepada individu.
Pada model pembelajaran kooperatif memang ditonjolkan pada diskusi dan kerjasama dalam kelompok. Kelompok dibentuk secara heterogen sehingga siswa dapat berkomunikasi, saling berbagi ilmu, saling menyampaikan pendapat, dan saling menghargai pendapat teman sekelompoknya.
2.3.5   Pendekatan Taktis
Pendekatan taktis mendorong siswa untuk memecahkan masalah taktik dalam permainan. Masalah ini pada hakikatnya berkenaan dengan peberapan keterampilan teknik dalam situasi permainan. Dengan demikian siswa makin memahami kaitan antara teknik dan taktik. Keuntungan lainnya, pendekatan ini tepat untuk mengajarkan keterampilan bermain sesuai dengan keinginan siswa. Tujuan utama dari pendekatan taktis dalam pengajaran permainan adalah untuk meningkatkan pemahaman siswa terhadap konsep bermain.
            Pendekatan taktik bermain membantu memikirkan guru untuk menguji kembali pandangan filosofis mereka pada pendidikan bermain. Model mengajar ini memungkinkan siswa untuk menyadari keterkaitan antara bermain dan peningkatan penampilan bermain mereka. (Subroto 2001 : 4) menjelaskan tentang tujuan pendekatan taktis secara spesifik yaitu untuk meningkatkan kesadaran siswa tentang konsep bermain melalui penerapan teknik yang tepat sesuai dengan masalah atau situasi dalam permainan.
            Model pembelajaran permainan taktikal menggunakan minat siswa dalam suatu struktur permainan untuk mempromosikan pengembangan keterampilan dan pengetahuan taktikal yang diperlukan untuk penampilan permainan. Sedangkan pembelajaran masuk ke dalam alam pikir siswa, sehingga terbentuk struktur pengetahuan tertentu. Pembelajaran pendekatan taktikal dalam pendidikan jasmani adalah bagian dari pembelajaran kognitif.
            Pada model pembelajaran permainan taktikal, guru merencanakan urutan tugas mengajar dalam konteks pengembangan keterampilan dan taktis bermain siswa, mengarah pada permainan yang sebenarnya. Tugas-tugas belajar menyerupai permainan dan modifikasi bermain sering disebut juga “bentuk-bentuk permainan”. Penekanannya pada pengembangan pengetahuan taktikal yang memfasilitasi aplikasi keterampilan dalam permainan, sehingga siswa dapat menerapkan kegiatan belajarnya saat dibutuhkan. Pada intinya adalah siswa dapat mengembangkan keterampilan dan taktis bermain secara berkesinambungan.
            Dalam strategi pembelajaran pendekatan taktis yaitu lebih menekankan pada konsep game-drill-game. Game yaitu bermain, siswa dituntut untuk bermain dengan konsep-konsep yang yang diberikan oleh guru dan memahami tentang permainan itu. Drill yaitu pengulangan, guru harus lebih teliti melihat permainan siswanya dan apabila terjadi kesalahan dalam tugas gerak maka guru menghentikan pembelajaran dan memberikan contoh gerakan yang benar kemudian siswa melakuakn tugas gerak. Kemudian game yaitu bermain, setelah melakukan pengulangan atau drill siswa kembali melakukan permainan dengan perubahan tugas gerak yang telah dilakukan pada tugas drill. Pembelajaran melalui model pembelajaran pendekatan taktis membiasakan siswa untuk melatih kognitif, afektif, dan psikomotor.
            Pembelajaran taktikal mengutamakan pada pemanfaatan “masalah-masalah taktikal” sebagai perantara dan tujuan pembelajaran. Guru harus mampu menunjukan masalah-masalah taktis yang diperlukan dalam situasi bermain. Sedangkan bagi siswa, sangat penting untuk mengenali posisi bermain di lapangan secara benar, pilihan-pilihan gerak yang mungkin dilakukan, dan situasi-situasi bermain yang dihadapi siswa.
            Kesadaran akan taktik, menggunakan dasar kemampuan untuk menekankan masala-masalah taktik yang muncul selama permainan. Hal itu sekaligus dapat memilih respons tersebut, mungkin terletak pada keterampilan gerak dalam penguasaan bola, seperti passing, dribling dan shooting dalam permainan bola tangan. Tujuan utama dalam mengajarkan olahraga di dalam pendidikan jasmani adalah untuk kesenangan, keterlibatan aktif, dan peningkatan keterampilan siswa yang bedampak positif terhadap hidupnya. Dalam proses pembelajaran, tujuan tersebut akan tercapai dan tidaknya tergantung pada bagaimana metode/ pendekatan keterampilan mengajar yang diterapkan guru kepada siswa dalam mengajar.
Selama ini dalam proses pengajaran pendididikan jasmani di sekolah masih ada guru yang menganut sistem pendekatan yang bersifat tradisional, yang menekankan pengajaran hanya pada penguasaan keterampilan atau teknik dasar suatu cabang olahraga. Meskipun format/ konsep pengajaran seperti itu memang bisa meningkatkan penguasaan teknik siswa, tetapi kekurangannya adalah bahwa keterampilan teknik dasar diajarkan kepada siswa sebelum siswa mampu memahami keterkaitan atau relevansi teknik-teknik dasar tersebut dengan penerapannya di dalam permainan yang sebenarnya, akibatnya sifat kesinambungan dari implementasi teknik dasar ke dalam permainan menjadi terputus. Untuk menghindari hal tersebut sekarang sudah dikenal suatu sistem pendekatan yang dirasakan lebih cocok untuk diterapkan dalam mengajar penjas terutama yang terkait dengan mengajar untuk olahraga-olahraga yang bersifat permainan yaitu sistem "pendekatan taktis".
Pengajaran melalui pendekatan taktis ini berusaha menghubungkan kemampuan taktis bermain dan keterampilan teknik dasar dengan menekankan pemilihan waktu yang tepat untuk melatih teknik dasar dan aflikasi dari pada teknik dasar tersebut ke dalam keterkaitannya dalam kemampuan taktis bermain, sehingga mampu merangsang siswa untuk befikir dan menemukan sendiri alasan-alasan yang melandasi gerak dan penampilannya (peformance). Selain itu sistem pendekatan taktis ini dapat dipakai untuk menghindari dari ketidak tercapaiannya tujuan/ target kompetensi yang diajarkan karena minimnya pasilitas yang ada pada sekolah, ataupun dikarenakan alokasi waktu yang sedikit yang diberikan untuk mata pelajaran penjas ini.
Dalam pelaksanaannya pendekatan taktis ini memanfaatkan bentuk-bentuk permaianan yang dimodifikasi. Penulis contohkan di sini misalnya pada permainan bola voli, bentuk modifikasinya seperti ukuran lapangan diperkecil, tinggi tiang net diperpendek, jumlah pemain bisa dikurangi atau ditambah. Modifikasi ini disesuaikan dengan kemampuan keterampilan siswa dan sarana yang ada.
2.3.6        Model Inkuiry
Model pembelajaran inkuiri diciptakan oleh Suchman (1962) dengan alasan ingin memberikan perhatian dalam membantu siswa menyelidiki secara independen, namun dalam suatu cara yang teratur. Ia menginginkan agar siswa menanyakan mengapa sesuatu peristiwa itu terjadi, memperoleh dan mengolah data secara logis, dan agar siswa mengembangkan strategi intelektual mereka untuk mendapatkan sesuatu yang baru. Inkuiri adalah suatu pencarian makna yang mensyaratkan seseorang untuk melakukan sejumlah operasi intektual untuk menciptakan pengalaman. Pada prinsipnya model inkuiri merupakan model yang menekankan pembelajaran yang berpusat pada siswa di samping juga pada guru, dan yang terutama dalam model inkuiri adalah siswa didorong untuk terlibat secara aktif dalam menyelesaikan suatu topik permasalahan hingga sampai pada suatu kesimpulan. Latihan inkuiri dapat diberikan pada setiap tingkatan umur (mulai dari Taman Kanak-kanak dan seterusnya), namun tentunya dengan tingkat kesulitan masalah yang berbeda.
Selain itu Metzler (2000:333) juga mengemukakan pendapatnya bahwa: “The inquiry model can be effective at all grades if the levels of cognitive and psychomotor problems given to student match their developmental readiness.” Maksudnya adalah model inkuiri bisa efektif untuk seluruh tingkatan kelas seandainya tingkat permasalahan kognitif dan psikomotor yang diberikan pada siswa sesuai dengan kesiapan perkembangannya. Masih menurut pendapat Metzler (2000:312) bahwa: “Inquiry teaching model is used in many schools in the United States and abroad, most often at the elementary grades.” Jadi model pembelajaran inkuiri ini digunakan oleh banyak sekolah di Amerika Serikat dan negara lainnya pada tingkat SD.
Dari pendapat ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran dengan model inkuiri dirancang untuk mengajak siswa secara langsung ke dalam proses ilmiah dengan waktu yang relatif singkat. Inkuiri tidak hanya mengembangkan kemampuan intelektual tetapi seluruh potensi yang ada, termasuk pengembangan emosional.
2.3.7        Direct Instruction/ Model Pengajaran Langsung
Dasar teori model ini mengambil filosofi dasar dari aliran behavioralistik dimana stimulus dan respon memegang peranan penting. Siswa diajarkan untuk melakukan kegiatan yang benar dengan kontrol yang ketat. Model ini menuntut siswa melaksanakan apa yang direncanakan oleh guru dengan konsekeuensi adanya “reward”.
Guru adalah model yang baik dan harus sangat menguasai materi yang diberikan kepada siswa. Adalah sebuah kesalahan ketika menempatkan guru sebagai dewa yang tidak pernah salah. Cara ini akan sangat baik ketika tingkat penguasaan guru terhadap materi, siswa, lingkungan, skenario sangat-sangat “exelence”.
Arti mengajar bagai guru dan belajar bagi siswa. a) Bagi guru: Guru adalah sumber utama dari semua perencanaan yang ada, Guru menentukan isi, tempat, aktivitas belajar dan peningkatan pembelajaran, Guru harus dapat mentranser ilmu dengan efektif dan efisien, Guru harus dapat memanfaatkan semua sumber yang ada untuk terlaksananya proses belajar, Guru disamping merencanakan juga merupakan pelaksana dari perencanaan yang diimplementasikan kepada siswa. b) Bagi siswa: Siswa belajar dari hal yang mudah ke sukar, sederhana ke komplek, Siswa harus dengan jelas mengerti tugas yang menjadi bahan ajar dan dipelajari termasuk kreteria keberhasilan, Belajar merupakan konsekuensi yang akan ada “reward”, Siswa membutuhkan banyak bantuan dalam mempelajari bahan yang dipelajari, Dalam belajar siswa berhak untuk mendapatkan umpan balik agar terjadi proses belajar dengan benar.
2.3.8        Model Tanggung Jawab Pribadi dan Sosial
A.      Model Hellison
Salah satu model pembelajaran pendidikan jasmani yang termasuk dalam katagori model rekonstruksi social adalah model Hellison, (1995), yang berjudul Teaching Responsibility Through Physical Activity.
Pembelajaran pendidikan jasmani dalam model ini lebih menekankan pada kesejahteraan individu secara total, pendekatannya lebih berorientasi pada siswa, yaitu self-actualization dan social reconstruction. Steinhart mengatakannya sebagai model humanistic. Model pembelajaran pendidikan jasmani dari Hellison ini diberi nama level of affective development.
Tujuan model Hellison ini adalah meningkatkan perkembangan personal dan responsibility siswa dari irresponsibility, self control, involvement, self direction dan caring melalui berbagai aktivitas pengalaman belajar gerak sesuai kurikulum yang berlaku. Hellison dalam bukunya ini mengungkap beberapa bukti keberhasilan modelnya dalam mengatasi masalah pribadi dan sosial siswa. Namun demikian Ia juga menyadari akan beberapa kritik yang dilontarkan terhadap modelnya ini misalnya produk social dan personal dari model ini walaupun penting namun tidak berhubungan secara spesifik dengan subjek mater pendidikan jasmani seperti keterampilan olahraga atau kebugaran tetapi bersifat umum berlaku juga pada pelajaran lain.
Model Helison ini sering digunakan untuk membina disiplin siswa (self-responsibility) untuk itu model ini sering digunakan pada sekolah-sekolah yang bermasalah dengan disiplin siswanya. Hellison mempunyai pandangan bahwa: perubahan perasaan, sikap, emosional, dan tanggung jawab sangat mungkin terjadi melalui penjas, namun tidak terjadi dengan sendirinya. Perubahan ini sangat mungkin terjadi manakala penjas direncanakan dan dicontohkan dengan baik dengan merefleksikan qualitas yang diinginkan. Potensi ini diperkuat oleh keyakinan Hellison bahwa siswa secara alami berkeinginan untuk melakukan sesuatu yang baik dan penghargaan ekstrinsik adalah “counter productive”.
Melalui model ini guru berharap bahwa siswa berpartisipasi dan menyenangi aktivitas untuk kepentingannya sendiri dan bukannya untuk mendapatkan penghargaan ekstrinsik. Fair play dalam penjas akan direfleksikan dalam kehidupannya sehari-hari. Oleh karena itu pada dasarnya model Hellison ini dibuat untuk membantu siswa mengerti dan berlatih rasa tanggung jawab pribadi (self-responsibility) melalui pendidikan jasmani.
1.        Tanggung Jawab Pribadi
Rasa tanggung jawab pribadi yang dikembangkan dalam model ini terdiri dari lima tingkatan, yaitu level 0, 1, 2, 3, dan level 4.
a)        Level 0: Irresponsibility
Pada level ini anak tidak mampu bertanggung jawab atas perilaku yang diperbuatnya dan biasanya anak suka mengganggu orang lain dengan mengejek, menekan orang lain, dan mengganggu orang lain secara fisik. Contoh lain misalnya: di rumah: menyalahkan orang lain di tempat bermain: memanggil nama jelek terhadap orang lain di kelas: berbicara dengan teman saat guru sedang menjelaskan dalam Penjas: mendorong orang lain pada saat mendapatkan peralatan olahraga.
b)        Level 1: Self-Control
Pada level ini anak terlibat dalam aktivitas belajar tetapi sangat minim sekali. Anak didik akan melakukan apa-apa yang disuruh guru tanpa mengganggu yang lain. Anak didik nampak hanya melakukan aktivitas tanpa usaha yang sungguh-sungguh. Sebagai contoh misalnya: di rumah: menghindari dari gangguan atau pukulan dari saudaranya walaupun hal itu tidak disenanginya. di tempat bermain: berdiri dan melihat orang lain bermain di kelas: menunggu sampai datang waktu yang tepat untuk berbicara dengan temannya. dalam Penjas: berlatih tapi tidak terus-menerus.
c)        Level 2: Involvement
Anak didik pada level ini secara aktif terlibat dalam belajar. Mereka bekerja keras, menghindari bentrokan dengan orang lain, dan secara sadar tertarik untuk belajar dan untuk meningkatkan kemampuannya. Sebagai contoh misalnya: di rumah: membantu mencuci dan membersihkan piring kotor di tempat bermain: bermain dengan yang lain di kelas: mendengarkan dan belajar sesuai dengan tugas yang diberikan dalam Penjas: mencoba sesuatu yang baru tanpa mengeluh dan mengatakan tidak bisa.
d)       Level 3: Self-responsibility
Pada level ini anak didik didorong untuk mulai bertanggung jawab atas belajarnya. Ini mengandung arti bahwa siswa belajar tanpa harus diawasi langsung oleh gurunya dan siswa mampu membuat keputusan secara independen tentang apa yang harus dipelajari dan bagaimana mempelajarinya. Pada level ini siswa sering disuruh membuat permainan atau urutan gerakan bersama temannya dalam suatu kelompok kecil. Kegiatan seperti ini sangat sulit dilakukan oleh siswa pada level sebelumnya. Mereka biasanya menghabiskan waktu untuk berargumentasi daripada untuk melakukan gerakan bersama-sama. Beberapa contoh perilaku siswa pada level tiga ini misalnya: di rumah: membersihkan ruangan tanpa ada yang menyuruh di tempat bermain: mengembalikan peralatan tanpa harus disuruh di kelas: belajar sesuatu yang bukan merupakan bagian dari tugas gurunya dalam Penjas: berusaha belajar keterampilan baru melalui berbagai sumber di luar pelajaran Pendidikan Jasmani dari sekolah.
e)        Level 4: Caring
Anak didik pada level ini tidak hanya bekerja sama dengan temannya, tetapi mereka tertarik ingin mendorong dan membantu temannya belajar. Anak didik pada level ini akan sadar dengan sendirinya menjadi sukarelawan (volunteer) misalnya menjadi partner teman yang tidak terkenal di kelas itu, tanpa harus disuruh oleh gurunya untuk melakukan itu. Beberapa contoh misalnya: di rumah: membantu memelihara dan menjaga binatang peliharaan atau bayi. di tempat bermain: menawarkan pada orang lain (bukan hanya pada temannya sendiri) untuk ikut sama-sama bermain. di kelas: membantu orang lain dalam memecahkan masalah-masalah pelajaran. dalam Penjas: antusias sekali untuk bekerja sama dengan siapa saja dalam Penjas.
B.        Model Canter’s Asertif
Selain model Hellison sebagaimana tersebut di atas, terdapat model lain dalam pendidikan jasmani yang sering digunakan secara terintegrasi untuk mengembangkan disiplin siswa dengan strategi yang relative sama, yaitu model disiplin assertif. Model ini dikembangkan oleh Canter (1976). Ia membuat model pembinaan disiplin dengan nama Canter’s Assertive Discipline.
Perbedaan model yang dikembangkan oleh Hellison dan Canter terutama terletak pada motivasi yang dijadikan landasan untuk mengembangkan didiplin siswa. Model Hellison lebih menekankan pada motivasi intrinsic yang dilandasi pada keyakinan bahwa: siswa secara alami berkeinginan untuk melakukan sesuatu yang baik dan penghargaan ekstrinsik adalah “counter productive”. Sementara itu, model Canter lebih menekankan pada motivasi ekstrinsik, seperti penghargaan, pujian, dan dorongan, termasuk konsekuensi.
Model ini didasarkan pada beberapa asumsi sebagai berikut:
a)      Semua siswa dapat berperilaku baik
b)      Pengawasan yang ketat atau kokoh akan tetapi tidak pasif dan tidak menakutkan adalah layak untuk diberikan.
c)      Harapan atau keinginan guru yang rasional mengenai perbuatan siswa yang sesuai dengan perkembangannya (seperti dibuat dalam peraturan) harus diberitahukan kepada siswa.
d)     Guru harus mengharapkan siswa berperilaku secara layak dan pantas namun harus mendapat dukungan dari orang tua siswa, guru lain, dan kepala sekolah.
e)      Tingkahlaku siswa yang baik harus segera didukung atau dihargai sementara tingkahlaku yang tidak baik harus mendapat konsekuensi yang logis.
f)       Konsekuensi logis akibat penyimpangan perilaku harus ditetapkan dan disampaikan kepada siswa.
g)      Konsekuensi harus dilaksanakan secara konsisten tanpa bias.
h)      Komunikasi verbal dan non verbal harus disampaikan dengan kontak mata antara guru dan siswa.
i)        Guru harus melatih keinginan-keinginan atau harapkan-harapan dan konsekuensi secara mental dengan konsisten kepada siswa.

Related Posts:

    Tips Buat Orang Tua Dalam Mendampingi Anak belajar dan Menyelesaikan Tugas PR (K-13)

    10 Cara Efektif Untuk Orang Tua.

    Tugas-tugas sekolah yang dilanjutkan di rumah yang sering disebut Pekerjaan Rumah (PR), seringkali dianggap sebagai beban oleh anak dan orang tua. PR sesungguhnya merupakan dampak akhir dari sebuah proses pembelajaran di kelas yang tidak tuntas. Seorang guru yang mampu menciptakan suasana pembembelajaran aktif, efektif, dan menyenangkan biasanya akan memberikan PR yang sangat minim kepada anak. Mengapa? Karena semua aktivitas yang sesuai dengan tujuan pembelajaran telah di capai atau tuntas, sehingga tugas-tugas yang berkaitan dengan ketidaktuntasan pembelajaran di kelas cendrung minim bahkan tidak ada. Bagaimana dengan tugas-tugas yang ada pada Kurikulum 2013 saat ini? Menurut pendapat saya, tugas-tugas yang ada pada kurikulum 2013 lebih mengarah ke study pustaka, kegiatan eksplorasi (proyek), dan kegiatan remedial/pengayaan.

    Buku siswa pada kurikulum 2013 berbasis aktivitas bukan materi, yang artinya bahwa buku siswa menyediakan aktivitas yang konsruktif, bukan materi dalam bentuk jadi yang sifatnya informatif yang kecendrungan untuk di hafal anak didik. Aktivitas yang disediakan pada buku siswa menuntut anak harus mampu menemukan atau mengkontruksi sendiri pengetahuannya melalui kegiatan mengamati, menanya, menalar, mencoba, dan mengkomunikasikan (kegiatan 5M). Perubahan pendekatan ini harus disadari sepenuhnya oleh siswa dan orang tua, karena perubahan ini lebih berorientasi pada proses bukan hasil, kebermaknaan kegiatan 5M untuk membangun cara berpikir yang benar tentang belajar, jauh lebih penting dibandingkan hasil akhir dari proses belajar itu sendiri.

    Pro-kontra tentang dampak perubahan kurikulum bagi anak dan orang tua di media massa khususnya tentang beban belajar anak dan tugas-tugas di rumah sampai saat ini masih cukup hangat dibicarakan. Berbagai alasan disampaikan untuk mempertahankan pendapat masing-masing, namun ada hal penting yang harus dikritisi adalah apakah benar beban belajar anak bertambah? Apakah banyaknya PR merupakan dampak dari perubahan kurikulum 2013, sehingga kurikulum yang dijadikan “kambing hitam”? ataukah, mungkin akibat dari kurangnya kesadaran untuk berubah dan ketidaksiapan menerima perubahan sehingga kurikulum hanya diterapkan setengah-setengah atau tidak utuh. Tentu, para pembaca punya argumen atau pendapat sendiri. Silahkan berpendapat dan menilai.

    Sebagai guru yang terjun langsung di lapangan, saya merasa ingin sedikit memberi penjelasan tentang kisruh yang ada saat ini. Tentu sekali lagi saya bukan pakar, saya hanya guru (seorang parktisi pendidikan) yang punya tugas dan tanggungjawab membelajarkan anak didik menggunakan kurikulum 2013. Menurut pengalaman saya, PR di kelas saya justru tidak banyak (sangat minim) jika dibandingkan waktu saya mengajar menggunakan kurikulum sebelumnya (KTSP). Hampir semua kegiatan pembelajaran saya tuntaskan di kelas, sehingga PR bisa saya minimalkan. Adapun tugas-tugas yang diberikan bukan berbasis PR, tetapi arahan ke anak untuk melakukan studi pustaka, dan kegiatan eksplorasi berkaitan dengan aktivitas yang sudah dilaksanakan di sekolah.
    Sebagai contoh kegiatan pembelajaran materi tentang APEC (buku siswa kelas 5 tema 3, hal 39) seperti gambar berikut:
    Isi dari buku siswa di atas menunjukkan bahw,  buku siswa tidak memberikan informasi materi tentang APEC, tetapi memberikan aktivitas yang akan dilakukan siswa melalui kegiatan berdiskusi dengan beberapa pertanyaan pancingan (buku siswa berbasis aktivitas bukan berbasis materi). Salah satu tugas guru dan orang tua adalah membantu siswa menemukan sumber belajar yang berkaitan dengan materi APEC. Sebagai guru saya menyediakan berbagai sumber belajar tentang materi APEC untuk didiskusikan berkaitan dengan pertanyaan yang ada. Selanjutnya, siswa menggali sendiri dengan pertanyaan-pertanyaan pengembangan sesuai informasi yang mereka temukan dalam sumber-sumber belajar yang saya sediakan. Siswa di setiap kelompok akan menyusun pertanyaan lain untuk bahan diskusi kelompok lain (kegiatan tukar-menukar pertanyaan antar kelompok). Di akhir kegiatan, guru dan siswa membuat sebuah kesimpulan dengan kegiatan “mengkomunikasikan hasil diskusi”, tentang APEC secara utuh. Demikianlah gambaran singkat tentang pembelajaran berbasis aktivitas yang ada pada kurikulum 2013.

    Apa yang harus dilakukan oleh orang tua untuk membantu anak belajar di rumah? Ini mungkin menjadi hal yang lebih penting untuk saya bahas  setelah mengulas sedikit filosofi perubahan pendekatan pembelajaran pada kurikulum 2013. Berikut 10 Tips bagi orang tua dalam membantu anak belajar di rumah. Cermati tips berikut, terapkan, dan rasakan perubahan pada anak anda.

    Luangkan waktu untuk anak anda. Luangkan waktu anda sebagai orang tua untuk berdiskusi atau mendengarkan curhatan anak anda tentang kejadian di sekolah. Topik yang anda bahas bisa berkaitan dengan kejadian yang menyenangkan, kejadian yang tidak menyenangkan, kegiatan pembelajaran yang dilakukan di sekolah, dan tugas-tugas dari sekolah. Dengan meluangkan waktu bersama anak secara tidak langsung akan berpengaruh kepada motivasi diri dan kepercayaan dirinya dalam melakukan aktivitas belajar yang telah dan harus mereka lakukan.
    Bersikaplah penuh perhatian (atentif). Umumnya anak akan merasa jenuh terhadap tugas-tugas yang diberikan guru, oleh karena itu, sebagai orang tua anda harus mampu membangkitkan semangat anak anda ketika dalam kondisi jenuh dan capek. Jagalah perasaan anak anda sebelum mengerjakan tugas agar tetap semangat!. Jangan sekali-kali mendikte dan memaksa anak yang dapat menyulut emosi mereka yang berujung kepada demotivasi, bersikaplah penuh perhatian!.
    Pahami tujuan dan jenis tugas anak anda. Kurikulum 2013 secara umum mengelompokkan kedalam 3 kategori tugas, yaitu tugas study pustaka, tugas pengembangan (proyek) dan tugas remedial/pengayaan. Berikut contoh kategori tugas yang ada di buku siswa kelas 5 Kurikulum 2013. Amati dan cermati setiap bentuk berikut.
    Contoh Tugas Studi Pustaka: Tugas ini bertujuan untuk mengarahkan anak agar lebih mengenal Tari Saman secara lebih mendalam yang akan digunakan untuk mengerjakan aktivitas lanjutan yang ada di buku siswa
    Contoh Tugas Proyek: Jenis tugas ini membutuhkan waktu yang lebih banyak dalam penyelesaiannya, mengedepankan proses, dan hasil akhir berupa hasil karya (produk). Tugas ini lebih cendrung mengasah dan mengukur keterampilan murid.


    Contoh Tugas Pengayaan: Tugas ini bertujuan meningkatkan kemampuan murid secara optimal melalui kerjasama orang tua.
    Bila tugas anak anda adalah tugas studi pustaka, apa yang harus anda lakukan?. Orang tua hendaknya mengarahkan anak untuk menemukan tempat dimana sumber/pustaka tersebut bisa ditemukan. Misalnya, bila menggunakan internet, dampingi anak dalam melakukan searching atau browsing mengenai tugas tersebut. Awasi anak agar fokus terhadap pencarian tugasnya, karena internet dapat mengalihkan perhatian anak ke bentuk yang lain seperti game, facebook, musik, film dan lain-lain. Setelah sumber pustaka ditemukan, lakukan diskusi dengan kegiatan 5M yaitu mengamati, menanya, menalar, mencoba,   dan mengkomunikasikan. Ingat! Pendekatan 5M bukan hanya terjadi di ruang kelas, namun harus dibiasakan di rumah anda.

    Bila tugas anak anda adalah tugas proyek, apa yang harus anda lakukan?. Dampingilah anak anda dalam menyelesaikan proyek tersebut. Orang tua sebisa mungkin membantu anak mempersiapkan alat dan bahan yang dibutuhkan dalam meyelesaikan proyek tersebut untuk menjaga motivasi anak. Hindari memonopoli pengerjaan proyek tersebut, biarkan anak anda mengerjakannya sendiri apapun hasilnya, bantulah dia jika ada pekerjaan yang sulit atau cendrung membahayakan bagi dia, beri kepercayaan kepadanya untuk menyelesai proyek tersebut. Ingat! Biarkan anak melakukan sendiri sebagai proses belajar untuk mengasah keterampilannya (proses jauh lebih penting dari pada hasil akhir). Pengalaman saya sebagai guru, saya pernah diantarkan tugas proyek oleh siswa, hasil karyanya bagus, tanpa cacat dan membuat saya takjub (mau bilang wow…gitu). Namun setelah saya telusuri ternyata yang mengerjakannya adalah orang tuanya. Apa yang saya lakukan sebagai guru? Saya tetap memberi nilai bagus (nilai 10), yaitu nilai “9” untuk orang tuanya dan nilai “1” untuk anak itu. Jika anda sebagai orang tua melakukan hal yang sama seperti cerita di atas, dan seandainya saya sebagai guru anak anda, pasti saya juga berikan nilai seperti di atas dan saya akan tuliskan dengan angka ukuran besar di karya anak anda tersebut, supaya anda sadar yang harus dibelajarkan adalah anak anda, bukan diri anda.

    Bila tugas tersebut adalah tugas remedial/pengayaan, apa yang harus anda lakukan?. Sebagai orang tua anda harus menggali terlebih dahulu apa maksud tugas yang diberikan dari anak anda, apakah tugas itu diberikan karena anak anda tidak tuntas dengan tugas yang sama di sekolah? Bila ya, berarti tugas itu adalah adalah tugas remedial (pengulangan), atau mungkin karena anak anda cerdas (kemampuan belajarnya baik) sehingga diberikan tugas lain yang melebihi dari standar? Bila ya, itu berarti tugas pengayaan (pengembangan). Setelah anda mengetahui jenis tugas tersebut, apa yang harus anda lakukan? Bila itu tugas remedial, lakukan pendampingan yang terstruktur ke anak anda terhadap kesulitan-kesulitan yang ditemukan dalam pengerjaan tugas tersebut, anda tidak diharapkan sebagai pelaku utama dalam mengerjakan tugas tersebut, anda diharapkan mampu memberikan scaffolding untuk menggali perlahan-lahan kemampuan anak dan kesulitan-kesulitannya termasuk materi prasyarat yang belum mereka kuasai, setelah itu komunikasikan kepada guru  mengenai kelemahannya yang seharusnya dibantu di kelas. Bila tugas anak anda berupa tugas pengayaan, berikan kepercayaan penuh kepada anak anda apapun hasilnya, karena anak-anak yang diberikan tugas pengayaan mempunyai kemampuan yang baik , lebih mandiri, dan lebih beratnggung jawab. Sebagai orang tua, anda  harus merasa bangga bila anak anda sering mendapat tugas pengayaan (pengembangan), itu berarti guru memenuhi kebutuhan belajar anak anda secara optimal. Lebih sabar menghadapi anak, nikmati prosesnya bersama anak. Ingat semua anak adalah unik, memiliki keterbatasan dan kelebihan. Sebagai orang tua anda harus sabar, sabar,  dan sabar mendampingi anak anda!.

    Lakukan komunikasi dengan guru yang memberi tugas. Seringkali anak tidak memberikan imformasi yang lengkap mengenai tugasnya, orang tua harus menjalin komunikasi dengan guru. Menjalin komunikasi dengan guru merupakan salah satu bentuk perhatian anda kepada anak anda. Pengamatan saya sebagai guru, orang tua siswa yang sering berkomunikasi dengan guru mengenai tugas-tugas sekolah berdampak postif pada peningkatan kepercayaan diri anak dalam penyelesaian tugas-tugas di kelas.
    Bimbing anak anda dalam menentukan target penyelesaian tugas. Biasanya anak mengulur-ulur waktu penyelesaian tugasnya, sebagai orang tua anda harus membimbing anak dalam menentukan target peyelesaian. Target yang dimaksud dapat berupa target waktu, dan target hasil akhir. Orang tua harus sadar bahwa umumnya anak masih lemah dalam hal mengatur waktu, sehingga membantu menetapkan target waktu kerja menjadi hal penting untuk dilakukan bersama anak agar menjadi lebih fokus. Target hasil kerja perlu juga anda diskusikan, tetapkan target maksimal dalam penyelesaian tugas agar hasil kerja tugas tidak terkesan asal jadi, dan tidak berbobot (kurang berkualitas).
    Pertimbangkan Mastery (penguasaan). Beri imbalan (reward) pada kinerja anak anda, imbalan yang mengisyaratkan penghargaan atas penguasaan materi atau keterampilan, bukan imbalan hanya melakukan tugas walaupun hasil akhir asal jadi dan kurang berkualitas.

    Tunjukkan sikap proaktif, bukan reaktif. Anak jarang membuat rencana penyelesaian tugas secara detail atau mengelola waktu mereka untuk belajar, sebagaian besar cendrung menyelesaikan tugas mereka mendekati waktu batas akhir penyelesaian tugas. Sebagai orang tua, dorong anak anda untuk lebih proaktif dan mengembangkan rencana penyelesaian tugas-tugas sekolah secara efektif.
    Disadari atau tidak peran orang tua dalam kurikulum 2013 semakin penting, bahkan genting. Kurikulum menuntut kerjasama yang baik antara sekolah, guru dan orang tua dalam menyukseskan kehidupan anak, peran ini dinyatakan secara eksplisit di buku siswa, yaitu bagian “kerjasama dengan orang tua” yang terdapat di setiap akhir pembelajaran. Berikut contoh bentuk kerjasama dengan orang tua pada buku siswa.

    Adanya bentuk kerjasama yang tertuang secara eksplisit pada buku siswa diharapkan dapat membantu orang tua dalam mendampingi anak untuk melakukan tugas-tugas yang bermakna di rumah, melalui kegiatan 5M (Mengamati, Menanya, Menalar, Mencoba, dan Mengkomunikasikan). Saya ingatkan kembali bahwa kegiatan 5M bukan hanya kegiatan yang dilakukan guru di ruang kelas, namun juga harus dilakukan oleh orang tua siswa di rumah.

    Suksesnya anak anda sangat bergantung dari diri anda sebagai orang tua. Mari bergandeng tangan membangun pendidikan dan karakter anak bangsa untuk menjadikan “INDONESIA HEBAT” melalui lingkungan rumah dan ruang kelas. Semoga sharing ini bermanfaat untuk anda para pembaca.



    Related Posts:

      3 Model Pembelajaran Yang sesuai Dengan Kurikulum 13

      Rekan – rekan  yang berbahagia. Bagaimana kabar rekan-rekan  pada hari ini? Semoga baik-baik saja dan selalu dalam lindungan-Nya.
      Pembahasan pada hari ini  tentang Proyek Based Learning. Tentu saja rekan-rekan memutar otak agar dapat mempersembahkan artikel terbaik sesuai dengan tema yang ditentukan.
      Demikian juga dengan saya, turut ingin berperan serta meramaikan website milik kita bersama ini. Selain menambah pengalaman, meningkatkan kemampuan menulis, rekan-rekan mendatangkan banyak manfaat untuk peningkatan kreativitas dan inovasi guraruers.
      Model pembelajaran Berbasis Proyek (Project Based Learning) ternyata menjadi model yang cocok untuk diterapkan pada kurikulum 2013. Oleh karena di dalam model PBL ini mengandung pola pembelajaran dengan pendekatan saintifik (scientific approach)
      Sebagai orang yang masih buta dengan model-model pembelajaran, saya bertanya kepada mbah Google tentang “Project Based Learning”. Dari hasil jawaban si Embah, saya menemukan sebuah artikel ilmiah yang membahas tentang model-model pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik kurikulum 2013.

      Dari artikel tersebut saya buat intisarinya dalam artikel ini. Setidaknya ada 3 model pembelajaran yang cocok diterapkan pada kurikulum 2013. Di antaranya sebagai berikut.
      1.      Discovery Learning
      Model pembelajaran discovery learning dilakukan dengan beberapa langkah pembelajaran yaitu persiapan, pelaksanaan (kegiatan inti), dan penilaian.
      Pada kegiatan inti yaitu pelaksanaan pembelajaran model pembelajaran discovery learning dilakukan hal-hal berikut.
      1)      pemberian stimulasi/rangsangan,
      2)      pernyataan/identifikasi masalah,
      3)      pengumpulan data,
      4)      pengolahan data,
      5)      verifikasi/pembuktian dan
      6)      menarik kesimpulan/generalisasi.
       Tahapan penilaian tentu dilakukan model authentic assesment
      2.      Problem Based Learning
      Problem based learning adalah, metode mengajar yang menggunakan masalah yang nyata, melalui masalah itu, terjadilah proses belajar siswa. Mereka akan belajar berbagai hal termasuk ingatan (kognitif) maupun keterampilan berpikir kritis.
      Problem based learning adalah metode mengajar dengan fokus pemecahan masalah yang nyata, kerja kelompok, umpan balik, diskusi, dan laporan akhir.
      3.      Project Based Learning
      Nah, inilah model pembahasan berbasis proyek  (Project Based Learning). Model pembelajaran berbasis proyek  merupakan model pembelajaran yang menggunakan proyek/kegiatan sebagai media.
      Guru menugaskan siswa untuk melakukan eksplorasi, penilaian, interpretasi, sintesis, dan informasi untuk menghasilkan berbagai bentuk hasil belajar.
      Demikian intisari dari artikel tentang model-model pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik kurikulum 2013. Model pembelajaran merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan oleh guru. Oleh karena guru merupakan ujung tombak pelaksana pembelajaran di kelas. Di sanalah, kreativitas guru sangat diperlukan untuk menunjang keberhasilan proses pembelajaran.
      Selengkapnya dapat dibaca di sumber aslinya di link berikut.

      http://bdksemarang.kemenag.go.id/?p=page&id=272#sthash.fdjzkT5p.dpuf

      Related Posts:

        7 Cara Anak Lebih Cerdas

        7 Cara untuk Membantu Otak Lebih Cepat Menangkap Pelajaran
        Cara agar lebih cerdas
        Selalu ada suatu hal baru yang membuat otak harus belajar, bekerja dan berfikir. Tak hanya para mahasiswa atau pelajar saja yang dikatakan sedang belajar, bahkan ibu rumah tangga dan balita pun belajar.
        Memasak resep baru, merebus telur, menggunting, bermain gitar, dan berbicara serta aktifitas lainnya pasti menggunakan bantuan otak untuk melakukannya dengan baik, bukan?
        Nah, lakukanlah kebiasaan baik berikut ini untuk membantu kinerja otak agar jadi lebih optimal dan cepat dalam menyerap informasi dan menangkap setiap pelajarannya.
        Dilansir oleh Huffingtonpost, berikut cara membantu kerja otak agar lebih cepat:
        •             Olahraga. Berolahraga membuat tubuh sehat, serta meningkatkan kemampuan memori dan pembelajaran. Sebuah study menemukan bahwa memori dan proses kognitif (kemampuan berfikir) membaik setelah sesi latihan 15 menit.
        •             Meditasi. Meditasi membuat Anda lebih mampu mengelola stres, juga meningkatkan memori, dan konsentrasi.
        •             Konsumsi asam lemak tak jenuh. Nutrisi ini penting bagi fungsi otak dan membantu mengontrol pembelajaran otak dan pusat memori. Sumbernya bisa dari ikan salmon, makarel, kacang tanah, kenari, dan lainnya.
        •             Tidur. Saat sedang bekerja atau belajar keras, orang sering mengorbankan waktu tidur mereka. Padahal tidur yang cukup penting sekali bagi fungsi otak, kemampuan tata bahasa yang konsisten, dan kecepatan reaksi.
        •             Minum air. Mungkin Anda berfikir apa hubungan dari minum air dan kemampuan otak. Tetapi dehidrasi punya efek yang lebih besar dibanding yang Anda kira. Termasuk terhadap kemampuan bekerja otak.
        •             Melakukan hobi. Otak juga butuh variasi. Jadi, sesekali lakukan hobi yang Anda sukai agar otak tak melulu melakukan hal menegangkan seperti pekerjaan rutin dan belajar serius saja. Cobalah melakukan hal baru agar otak lebih fresh.
        •             Tertawa. Belajar dan bekerja serta melakukan rutinitas memang penting. Tetapi jangan lupakan untuk bersantai di sela-sela kegiatan tersebut. Tertawalah bila ada hal lucu, atau melihat film komedi agar Anda bisa tertawa juga sangat menyenangkan.

        Related Posts:

          5 Tips Mengajar Tidak Membosankan

          CARA MENGAJAR YANG MENYENANGKAN DAN TIDAK MEMBOSANKAN

          Cara Mengajar yang Menyenangkan dan Tidak Membosankan - Saat ini dunia pendidikan Indonesia sudah semakin terpuruk yang dikarenakan  kegagalan para pendidik dalam mendidik para generasi muda. Hal terbesar yang menyebabkan kegagalan tersebut adalah kekurang tepatan model-model pembelajaran yang diaplikasikan oleh guru selama ini. Terlepas dari berbagai faktor penyebab kegagalan, seroang pendidik memiliki peranan yang sangat penting berkenaan dengan sukses atau tidaknya suatu proses pembelajaran. Dan oleh karena itulah guru harus tahu prinsip serta cara mengajar yang baik.


          • Macam-macam Media Pembelajaran yang Harus Guru Ketahui!
          • Prinsip Serta Cara Bercanda di dalam Kelas yang Benar
          • Cara Mengajar yang Menyenangkan dan Tidak Membosankan
          • Super Tips Belajar Efektif! Siswa Silahkan Baca . . .
          • Super Tips Membuat Program Unggulan di Sekolah

          Fakta ini menjadikan para siswa di sekolah dasar pun ikut merasakan kejenuhan jika telah memasuki mata pelajaran tertentu, khususnya pada matapelajaran hitung-hitungan atau juga hafalan. Memang tidak bisa dipungkiri lagi, bahwa selama beberapa tahun ini pendidikan Indonesia hanya menyuguhkan suatu bentuk hafalan kepada siswa. Siswa sendiri sudah bisa dianggap sebagai suatu mesin foto kopi yang diharuskan menghafal berlembar-lembar materi dan juga para siswa hanya diiinstruksikan mendengarkan guru mereka berbicara saja tanpa ikut terlibat dalam pembelajaran. Disini siswa tidak diajak untuk terlibat dan ikut berpikir tentang bagaimana caranya untuk mengembangkan sesuatu dari apa yang telah mereka pelajari. Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab dimana siswa menjadi bosan saat pembelajaran. Nah oleh karena itulah guru harus mampu mengatasi hal tersebut dan tentunya tampil bersemangat dalam mengajar.

          Dalam kegiatan pembelajaran ada beberapa tips serta cara agar proses KBM tidak membosankan bagi para siswa, Berikut beberapa tips agar siswa tidak jenuh saat belajar di kelas :

          1.            Pemilihan metode yang baik dan tepat, guru sebagai seorang pendidik diharuskan memilih suatu metode yang tepat dan berkualitas. Sebisamungkin metode yang diaplikasikan bisa membuat para siswa menjadi lebih aktif dalam pembelajaran yang pada akhirnya kegiatan KBM pun menjadi tidak membosankan bagi para siswa.
          2.            Pemilihan media yang tepat dan berkualitas, guru sebagai seorang pendidik sebisamungkin mempertimbangkan media apa yang sekiranya cocok dan pas untuk diterapkan pada kegiatan pembelajaran. Tujuan dari pengaplikasian media itu sendiri adalah agar para siswa bisa menyerap materi pelajaran yang diajarkan oleh gurunya tanpa merasa jenuh dan tentunya menjadikan mereka ikut terlibat aktif pada proses pembelajaran.
          3.            Mengadakan sebuah simulasi, hal tersebut sangat diperlukan untuk diaplikasikan di saat proses belajar mengajar. Pilihlah suatu bentuk simulasi yang dapat membangkitkan gairah semangat belajar siswa.
          4.            Lakukan suatu bentuk pembelajaran secara outdoor, guru jangan hanya melakukakan suatu proses pembelajaran di dalam kelas saja, manfaatkan juga lokasi-lokasi yang ada. Kegiatan didalam kelas secara terus-menerus hanya akan menjadikan siswa bosan dan jenuh. Oleh karenanya, cobalah sesekali untuk melakukan kegiatan belajar mengajar secara outdoor sehingga para siswa tidak merasa bosa dengan suasana pembelajaran.
          5.            Pendekatan terhadap para siswa, guru sebagai seorang pendidik diharapkan mampu melakukan suatu bentuk pendekatan kepada para siswa agar mereka tidak merasa malu dan sungkan untuk bertanya kepada guru. Hal ini akan menjadikan siswa menjadi lebih aktif dan berperan penting dalam pembelajaran.
          Mungkin sekian saja tips-tips agar para siswa tidak merasa jenuh dan bosa saat KBM berlangsung. Hal yang perlu diingat disini adalah semua guru harus memiliki banyak kreatifitas dalam menunjang proses belajar-mengajar di kelas, (baca juga: Tips menjadi guru kreatif) sehingga siswa menjadi senang dan tidak membuat siswa bosan dan jenuh.
            

          Related Posts: